Pengalamanku menjadi Relawan pada Pusat Kajian Disabilitas UI. 19 Nov 2008 Di DPP Pertuni Wawancara Dengan Rina Prasarani Aktifis Tuna netra, berikut hasil sinopsisnya
HIDUP MENJADI TUNA NETRA
ADALAH ORANG PILIHAN MAKA BERBAHAGIALAH
Pada dasarnya setiap manusia ingin dilahirkan sempurna. Tumbuh dan menjadi dewasa dengan memiliki organ fisik yang berfungsi dengan baik adalah harapan bagi setiap orang, dan Kesempurnaan tersebut saat ini dipercaya sebagai kunci meraih Cita-cita karena Tak sedikit setiap persyaratan pekerjaan baik di dalam instansi pemerintah maupun swasta masih memandang fisik sebagai faktor penentu sebelum pada pengujian kompetensi diri. Akibatnya keberadaan para penyandang cacat kian tidak mendapatkan tempat diberbagai instasi, belum lagi penerimaan masyarakat yang terkadang memandang sebelah mata orang-orang dengan disabilitas itu.. Tampaknya kondisi tersebut tidak membuat patah semangat bagi perempuan yang lahir 33 tahun silam ini, dalam mengarungi tantangan hidup yang semakin diskriminatif.
Adalah Rina sosok perempuan ramah yang memiliki semangat. Sepintas siapa yang menyangka gadis bersahaja yang sering memakai kacamata hitam ini adalah tuna netra, ditengah keterbatasan dalam melihat seolah-olah tertutupi oleh wajah cerianya dengan senyum menghias wajahnya, ditambah lagi gerak tubuh dan eyes contact saat sedang berbicara, sehingga setiap orang atau kerabatnya merasa nyaman berada disampingnya, alasannya karena Rina memiliki sifat yang menyenangkan.
Tiada hari tanpa kesibukan maka itulah yang menjadi keseharian dari Rina dan kesibukan itu bukan hanya karena pekerjaannya sebagai switch board atau operator telepon di Hotel Grand Maliya, Jl. Rasuna Said, akan tetapi ia juga mempunyai segudang tanggung jawab lainnya, yang tentunya berkaitan dengan misi sosial.
Eksistensinya di beberapa organisasi penyandang cacat seperti dalam lingkup Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni), Persatuan Penyadang Cacat Indonesia (PPCI) serta Persatuan Wanita Penyandang Cacat Indonesia (PWCI). Membuktikan dirinya sebagai seorang aktifis penyandang cacat. Yang senantiasa berusaha mencurahkan Semangat dan pengorbanannya untuk mengangkat martabat para penyandang cacat .
Rentetan Tugas dan tanggung jawab yang ia miliki tidak dijadikan alasan untuk mengurangi waktu untuk rumah tangganya. Meski suami dan anak keduanya tuna netra tidak merubah entitasnya sebagai sosok Ibu yang setia memberi rasa kasih sayang terhadap suami dan anak-anaknya. Pekerjaan Organisasi, Rumah tangganya ia jalani secara sinergi dan penuh sukacita..
Perjalanan Hidup Rina
Aku adalah anak kedua dari tiga bersaudara, kakakku terlahir dalam keadaan sehat hanya aku dan adikku yang mengalami cacat mata. Aku tidak pernah menyangka pada usia remaja aku akan mengalami gangguan pada mata hingga pada kebutaan, karena dari ayah, ibu dan kakakku tidak memiliki masalah serius pada penglihatannya.
Pada masa taman kanak-kanak (TK) penglihatanku masih bagus. Namun ketika saat aku di sekolah dasar Don Bosco 2, Pulo mas. saat itu usiaku sembilan tahun, pada waktu kelas 4 (empat) SD, aku baru mengetahui kalau aku mengalami masalah pada mata, indikasi itu kusadari ketika disekolah diadakan pemeriksaan mata, hanya sekilas saja dokter itu memeriksa dan langsung memberikan surat ke orang tua aku, bahwa aku harus diperiksa lebih lanjut di dokter mata specialis, pun demikian aku menganggap itu sebagai masalah biasa, karena pada saat itu saya memang sudah memakai kacamata. namun dari awal pun dokter dan ibu tidak secara langsung bilang kepadaku kalau aku akan mengalami kebutaan, alasannya untuk menghindari tekanan psikologis di saat usiaku masih sangat muda saat itu.
Ditengah semakin menurunnya pelinghatanku, aku masih bersih keras untuk tetap bersekolah hingga aku lulus dari SMP Tarakanita 4, Rawamangun. dan melanjutkan Sekolah Menengah Atas tepatnya di SMA 36, rawamangun. Mataku ini semakin sering mangalami rabun senja apalagi jika kurang cahaya, perih dan pedih yang kurasakan pada mataku. Karena Itulah yang mendorong aku bersama dengan ibuku meminta kepada wali guru agar dapat diperkenankan duduk paling depan supaya dapat melihat tulisan di papan tulis dengan jelas. Senang rasanya saat setiap kali kami meminta duduk paling depan dapat dikabulkan. Pun demikian masih saja aku yang paling telat jika disuruh menulis catatan oleh guruku, belum lagi kalau guruku menerangkannya melalui papan tulis maka kerap aku terkena teguran demi teguran dari guruku karena telah mrncatatnya.
Usai tamat Sekolah Menengah Atas, tidak menghentikan langkahku untuk mengambil jenjang yang lebih tinggi. meskipun sebenarnya aku sudah mengetahui kalau aku memiliki jenis penyakit mata Retinetik Stik Mentosa, kucari informasi itu bersama dengan sepupuku disuatu rumah sakit, dan aku baru tahu kalau penyakitku akibat adanya hubungan darah antara ayah dan ibuku. Saat kami kesana tidak diketahui oleh ibuku karena saat itu ibuku menemani ayahku berobat karena stroke di singapura.
Walapun aku sudah mengetahui dampak penyakit itu akan mengakibatkan kebutaan, namun aku berusaha berdalil bahwa aku tetap akan bisa melihat dan kalau harus buta tapi bukan dalam waktu dekat akan tetapi terjadi ketika aku tua nanti, alasannya kudapat karena aku melihat kakek dan nenek ku mereka mengalami kebutaan di usia senjanya .asumsi itu yang membulatkan tekadku untuk kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Keuangan dan Perbankan (STEKPI), Kalibata. Namun ternyata penurunan penglihatanku tidak dapat dihindarkan lagi, ketika aku berada di semester VI (enam), sungguh aku berusaha untuk bisa melihat tapi ternyata tidak bisa, hanya bayangan hitam pekat yang aku lihat.. Karena merasa sudah tidak mampu lagi dan tidak mungkin bisa dipertahankan lagi pada semester VII tahun 1996 aku mengundurkan diri dari STEKPI.
Rasa frustasi dan pesimis sebisanya aku hindarkan, yang kemudian aku terus berpikir apa yang aku harus kuperbuat untuk membunuh rasa bosanku, yang akhirnya aku bernisiatif untuk kursus bahasa inggris di British Institute, sambil lalu aku mengusahakan terus berobat dan memeriksakaannya Ke rumah sakit.
Keinginan untuk sembuh adalah Impianku meski cenderung utopis, aku tetap berjuang untuk dapat melihat, hingga kemudian aku memberikan diri agar mataku dapat dioperasi, kebetulan saat itu dokter rusia sanggup mengoperasi mataku, namun hanya mata kiriku sedangkan mata sebelah kananku mengharuskan aku dioperasi di RS Rusia, meski masih experimental. Walau demikian Aku terus berdoa pada Tuhan dan berharap ada kesembuhan, hingga akhirnya harapan itu sirna ketika kuketahui kalau aku tak ada harapan untuk aku dapat melihat..
Pernah beberapa kali temanku mengeluhkan, bahwa karena operasi itu kondisi mataku semakin parah, kujawab saja dengan sederhana, bisa saja kondisi mataku jauh lebih parah ketika tidak operasi. Rasa penasaranku kini terjawabkan. Walaupun hasilnya sama saja, sama-sama tidak melihat, namun aku puas, karena telah berusaha semampuku hingga aku harus berobat keluar negri. Kini derita ini kuterima dengan hati yang lapang dan aku percaya dibalik itu semua ada hikmah yang aku dapat. Hngga aku yakin bahwa orang-orang dengan penyandang cacat adalah orang-orang pilihan, jadi berbahagialah.
Saat aku sudah tidak dapat melihat lagi, aku berusaha untuk tidak membebani ibuku karena saat itu ayahku mengalami jatuh stroke yang mengakibatkan kelumpuhan pada kaki kirinya, peristiwa itu membuat ibuku sangat shock. Melihat wajah ibuku, tak tega rasanya. oleh karenanya semampuku aku menampakan padanya bahwa diriku baik-baik saja, dan terus berharap sesuatu yang tidak diinginkan tidak terjadi pada ayahku..
Aku memiliki karakter untuk terus belajar dan tuntutlah ilmu setinggi mungkin, hingga aku melanjutkan kuliah lagi di Universitas nasional (Unas) dengan mengambil sastra inggris. Namun suatu ketika kuliahku kembali terhenti karena tahun 1998 aku menikah, dan suamiku juga tuna netra pula, dan sekarang aku memiliki 2 orang anak, anak terakhirku tunanetra pula sekaligus terkena autis.
Seiring berjalannya waktu, aku terdorong untuk mencari komunitas yang yang senasib denganku, dengan harapan aku bisa tahu, suka duka menjadi tuna netra dan apa yang harus dilakukan, bersama sepupuku aku mencarinya, pertama-tama kami tergerak untuk observasi di SLB tebet dan ternyata tempat itu adalah untuk tuna grahita. Dari sana kami mendapatkan informasi kalau untuk tuna netra tempatnya di Lebak bulus, disitu saya bertemu dengan bu kartini dan bersamanya, aku belajar Braille secara privat sehingga saya lebih cepat mengetahui huruf-huruf Braille. Dan kemudian ibu kartini mengarahkan aku ke Kartika Mitra Netra. Berada disana sungguh saya sangat senang karena saya dapat menjumpai orang-orang yang senasib dengan saya, dan ada beberapa orang yang memiliki penyakit yang sama seperti saya yakni Retinetik Stik Mentosa. Dari sana saya mulai aktif di perkumpulan remaja tuna netra. Lama disana saya dipercayakan menjadi sekretaris kartika mitra netra. Hingga akhirnya aku dapat mengenal dengan ibu aryani, dia adalah ketua umum himpunan wanita penyandang cacat Indonesia (HWPCI), melalui dialah yang membuka gerbang karir menjadi aktfis penyandang cacat. Saya bersyukur saya diberi kesempatan mengikuti leadership and management training di Negara India, saya menjadi salah satu yang menemaninya mengikuti training disana, alasan karena bu aryani melihat diriku memiliki kualitas dan kapasitas bahasa inggris yang baik.
Pasca training aku semakin dilibatkan di dalam HWPCI hingga kemudian pada tahun 1998 aku direkrut menjadi kepala pengembangan daerah. dan pada tahun 2000 DPP Pertuni mempercayakan saya menjabat sebagai Kepala Departemen Pemberdayaan Perempuan. Keatifan dan integritasku mulai diketahui oleh banyak orang, hingga kemudian 2002 pada momen Munas Perhimpunan penyandang cacat Indoensia (PPCI) meminta ku menjabat sebagai kepala seni dan budaya. Dan aku menerimanya dengan harapan aku membrikan kontribusi nyata. Dari sana mobilitasku semakin luas, hingga aku dapat melalang buana ke berbagai Negara untuk mengahadiri Confrence tuna netra Internasional..
Rasanya Tuhan sudah mengatur masa depanku, tanpa aku mencari justru mendapat. tanpa aku duga pada tahun 2004 aku direkomendasikan Kartika Mitra Netra untuk bekerja di hotel Grand Maliya sebagai switch board atau operator telpon, pekerjaan ini lah yang mematangkan komptensiku. meskipun Awalnya aku mengalami kesulitan saat di tahun pertama aku berkerja di hotel bintang lima ini, bekerja sebagai switch board atau operator telpon tidak hanya menerima telpon, Checking atau pesan kamar, memberikan informasi atau menjawab setiap keluhan, akan tetapi juga berhubungan dengan Bill yang langsung berhubungan dengan komputer, untungnya komputer tersebut sudah diinstall jaws aplikasi untuk tuna netra sehingga ditahun berikutnya saya dapat bekerja dengan mandiri, namun sesekali masih tetap membutuhkan orang lain. Saya bersyukur melalui pekerjaan ini aku dapat membuktikan ditengah keterbatasku aku mampu mengerjakan tugas tersebut dengan dengan penuh tanggung.
Pekerjaan kini telah aku dapat. Namun perjuangan belum lah selesai, problem lintas sektoral penyandang cacat masih terus terjadi. aksesibilitas penyandang cacat jauh dari harapan. Serta kebijakan pemerintah cenderung diskriminatif dan lain sebagainya. Menjadi bagian dari misi dan tanggung jawab yang harus aku jalankan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar